
“MENERANGI” PENERANG KEGELAPAN, Oleh: Ilyas Yasin (Dosen STKIP Yapis Dompu)
Dalam banyak kesempatan di kelas, terutama saat mengajar matakuliah yang berhubungan dengan tugas dan profesi kependidikan, saya selalu menekankan tentang pentingnya kesetiaan pada profesi kepada para mahasiswa. Saya mengingatkan tentang beratnya profesi guru dan konsekuensinya sehingga diperlukan rasa cinta yang melimpah dalam menjalankanya. Bukan hanya karena kini guru mendapatkan tantangan yang sangat nyata dari media, melemahnya kontrol dan wibawa guru terhadap siswa, godaaan politik dalam kontestasi Pilkada, tapi juga oleh beberapa perubahan seperti tindakan “mempolisikan” guru oleh wali murid karena dianggap melakukan kekerasan kepada siswanya. Termasuk risiko rendahnya tingkat kesejahteraan khususnya jika kelak mereka menjadi guru honor atau sukarela.
Sengaja saya membentangkan tantangan itu dengan harapan mereka tidak kaget jika nanti menjadikan guru sebagai pilihan hidupnya. Saya juga rajin mengutip buku Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional karya Ahmad Rizali, dkk (2009) yang membagi tiga tipe guru yakni guru bertipe penumpang, tipe pecundang dan tipe guru pembual. Guru bertipe ‘penumpang’ (passenger) adalah guru yang sekadar ‘nebeng’ saja menjadi guru. Berseragam Korpri, memakai baju keki, atau menyandang predikat ‘PNS’, itulah cita-cita tertinggi guru macam ini. Dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS), dia sudah merasa puas sekaligus puncak kebahagiaannya karena merasa berada di atas kasta tertinggi dalam strata sosial masyarakatnya. Dari guru tipe ini kadang muncul ungkapan “Saya mah mau ngajar mau nggak tetap terima gaji kok”. Tipe guru pecundang (losser) adalah guru yang pasrah saja dengan keadaan yang ada. Tipe guru ini bagai bendera di atas bukit; dia menyerah kalah saja; pasif saja. Yang paling buruk adalah tipe ketiga yakni guru pembual (bad speaker). Guru tipe ini lebih banyak berbicara tentang hal-hal di luar profesinya. Termasuk dalam tipe ini adalah guru yang bercitarasa politisi. Profesinya guru tapi lebih sering menempatkan dirinya bagai pengamat politik, bahkan seperti pengurus partai politik.
Sebaliknya tiga tipe guru yang diharapkan adalah kebalikan dari tiga di atas adalah (1) tipe pengemudi (driver) (2) tipe pemenang (winner) dan (3) tipe inspirator (inspire). Jika guru sudah mampu menjadi guru inspiratif maka saya kira tidak alasan untuk galau dengan perubahan kurikulum maupun pergantian menteri pendidikan. Sebab toh pada akhirnya mendidik itu bagaikan bunyi jingle iklan teh botol Sosro itu: apapun kurikulumnya, atau siapapun menteri pendidikannya, tetap saja gurulah penentu akhirnya.
Di luar itu, “provokasi” kecintaan terhadap profesi itu harus terus-menerus saya ingatkan karena rasa cinta itulah yang memudar di kalangan sebagian besar guru-guru sekarang ini. Betapa tidak, baik dari hasil-hasil survei maupun pengalaman keseharian menunjukkan bahwa kinerja guru bukannya membaik melainkan memprihatinkan. Ini menyedihkan justeru di tengah perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru. Bukan rahasia lagi, dibandingkan pegawai lainnya kesejahteraan cukup menggembirakan baik melalui tunjangan sertifikasi, gaji ke-13 dan 14 maupun lainnya.
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya maka tingkat kesejahteraan guru kini jauh lebih baik. Sudah banyak guru yang sudah hidup layak bahkan tak sedikit yang menggunakan roda empat ke sekolah. Ini tentu menggembirakan. Begitu pula, dari segi jumlah guru sekarang sudah memadai bahkan di beberapa sekolah malah lebih. Tetapi siapapun, rasanya sulit membantah kenyataan bahwa spirit sekolah saat ini seolah mengalami mati suri. Sekolah telah kehilangan auranya; kehilangan cahayanya. Sekolah-sekolah kita bahkan mengalami “kesepian”. Banyaknya jumlah guru sepertinya tidak berpengaruh terhadap capaian-capaian akademik maupun nonakademik siswa, sebagaimana banyaknya guru bersertifikasi tidak berkelindan dengan prestasi di sekolah. Terutama sekolah-sekolah di wilayah kecamatan misalnya, nyaris tidak kelihatan kegiatan ekstrakurikuler sebagaimana zaman dulu. Pada jam sekolah, kita begitu mudah menemukan siswa berkumpul atau nongkrong di luar lingkungan sekolah. Kalau begitu, jangan-jangan ada yang salah dengan lingkungan sekolah kita—entah itu cara mengajar guru kurang menarik, lingkungan sekolah yang kurang menggairahkan dan lainnya sehingga siswa lebih tertarik ngerumpi di mall misalnya, ketimbang di sekolahnya.
Di sebuah sekolah dasar saya sempat kaget mendapati bahwa masih banyak guru yang bahkan tidak memiliki laptop untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang dilakukannya. Padahal benda ini, di zaman now, merupakan kebutuhan dasar sekaligus media untuk menciptakan proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi para siswanya. Terlebih sudah banyak sekolah yang tersambung dengan jaringan internet maupun memiliki perangkat LCD guna mendukung proses pembelajaran tersebut. Jika media dan kemudahan teknologi semacam ini dimaksimalkan pemanfaatannya tentu akan berpengaruh positif dalam meningkatkan mutu pendidikan kita.
Tahun lalu, sebelum anak saya tamat SMA, saya heran karena dia sering pulang cepat, padahal baru pukul 10.00 pagi. Begitu pula saya sering menemukan teman-temannya yang berada di depan gerbang sekolah pada jam belajar. Ketika ditanya, anak saya menjawab karena tidak ada guru. Menurut pengakuannya, di sekolah meskipun ada guru tapi sengaja tidak masuk ke kelas; sang guru hanya ngobrol atau ngerumpi. Beberapa oknum guru ini bahkan hanya mengajar jika ada kepala sekolah. Yang rajin mengajar justeru guru-guru honor dan sukarela. Saya mempercayai jawaban anak saya karena dia tergolong rajin dan disiplin.
Terus terang, kita jadi heran dan bertanya-tanya: kemana guru-guru berdedikasi tinggi seperti zaman dahulu? Yakni guru-guru yang sangat ikhlas mencintai pekerjaannya? Dibandingkan sekarang, di tengah aneka keterbatasan yang ada guru-guru dahulu justeru memiliki militansi dan dedikasi dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya. Kompetensi dan dedikasi adalah dua syarat utama guru profesional sebagaimana ditegaskan Glickmann (1988). Fenomena di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa pendekatan kesejahteraan ternyata tidak otomatis menjawab masalah pendidikan. Benar kata CE Beeby (1982) bahwa memang tidak banyak hal yang dapat dilakukan di sekolah tanpa uang. Tetapi jika kita menggantungkan segalanya pada faktor uang dalam melakukan pembaruan-pembaruan di sekolah maka kita hanya akan memperoleh sesuatu yang kerompang tanpa isi.
Bukan apa-apa. Secara harfiah kata ‘guru’ itu berasal dari bahasa Sansekerta gu (kegelapan) dan ru (menghilangkan). Jadi sejatinya guru adalah ‘penghilang’ atau ‘penerang’ kegelapan (J. Sumardianta, 2013). Tentu hanya cahaya yang dapat menerangi kegelapan. Maka, jika guru sendiri sudah tak mampu menjadi teladan maka mustahil ia dapat menerangi “kegelapan” murid-muridnya. Mustahil guru bisa menerangi ‘kegelapan’ bila ia sendiri dalam kegelapan, atau sumber kegelapan, apalagi menjadi kegelapan itu sendiri. Semoga slogan peringatan hari guru maupun PGRI kali ini Tanpa Guru Apa Jadinya Aku? atau Tanpa Guru Apa Jadinya Anakku? dapat menyibak kegelapan itu. Jika tidak maka slogan itu akhirnya sekadar menjadi verbalisme yang hampa makna.
Guru Hari Guru Kesenjangan PGRI PNS Profesional